Rabu, 29 Mei 2013

Hukum Perjanjian (softskill ke-5)

KATA PENGANTAR
Puji serta syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunianya akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hukum Perjanjian”. Adapun terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, itu merupakan fakta asli kemampuan manusia yang pada dasarnya tidak pernah luput dari khilaf dan salah.
Makalah ini saya tulis untuk memenuhi salah satu syarat dalam melaksanakan tugas Aspek Hukum dalam Ekonomi, jurusan Akuntansi Jenjang S1 pada Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma.
Dengan segala keterbatasan, saya memohon para pembaca untuk mengkoreksi apabila ada hal-hal yang kurang tepat pada makalah saya ini. Saya mengharapkan semoga makalah ini dapat memberi wawasan lebih tentang Hukum Perikatan dan bermanfaat bagi para pembaca.
Bekasi, Mei 2013

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam buku III B.W berjudul “Perihal Perikatan”, perkataan “perikatan”(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luar dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam buku III itu diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan/perjanjian yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Tetapi, sebagian besar dari buku III di tujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan membahas mengenai hukum perjanjian antara lain meliputi persoalan:
a.  Apa itu Standar Kontrak ?
b.  Apa saja macam-macam Perjanjian ?
c.  Apa yang menjadi Syarat Sahnya Perjanjian ?
d.  Bagaimana saat Lahirnya Perjanjian ?
e.  Pembatalan dan  Pelaksanaan  Suatu Perjanjian ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 STANDAR KONTRAK
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeperburuk.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1.   Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2.   Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a.  Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b.  Pengertian kontrak baku.

3.   Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.   Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.

5.   Pasal 2.22, Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.

6.   UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

7.   UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-macam kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
a.  Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
b.  Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
2.2 MACAM – MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
1.   Perjanjian dengan cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban :
a.  Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
b.  Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2.   Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
a.  Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
b.   Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.   Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
a.  Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
b.  Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
c.   Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4.   Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
a.  Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
b.  Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
c.  Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.
2.3 SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
1.   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.   Suatu hal tertentu
4.   Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedanngkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1.   Orang-orang yang belum dewasa
2.   Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
3.   Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

2.4 SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas konsensualitas, suatu pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut, sebab saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan.

2.5 PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Pembatalaan Suatu Perjanjian
 Apabila dalam suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyktif, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perjanjian tidak bebas, yaitu:
1.   Paksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau fisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
2.   Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek dari perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
3.   Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik, untuk membujuk pihak lawannya memberikan perjanjiaannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya.
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Memilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam yaitu:
1.   Perjanjian untuk memberikan menyerahkan barang
2.   Perjanjian untuk bebuat sesuatu
3.   Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan sekedar petunjuk, ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin dieksekusi (dilaksanakan) secara riil. Petunjuk itu kita dapatkan dalam pasal-pasal 1240-1241.
Dalam hal penafsiran perjanjian ini pedoman utama ialah: kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah:
1.   Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.
2.   Jika sesuatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
3.   Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
4.   Apa yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat di mana perjanjian telah diadakan.
5.   Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
6.   Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang elah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.

Sumber :
·         http://sakinah-febrianty.blogspot.com/2012/06/hukum-perjanjian.html
·         http://watawarga.gunadarma.ac.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar